Praktek pelarangan buku di Indonesia muncul pertama kali pada akhir 1950an, seiring dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam perpolitikan Indonesia. Sejumlah perwira militer yang menamakan gerakannya PRRI/Permesta dan DI/TII memberi dalih pada KSAD Mayjen AH Nasution selaku Penguasa Militer, untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung ‘ketjaman-ketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan’ terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung ‘pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan’ terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan ‘keonaran’
. Batasan atas konsep-konsep itu sepenuhnya ditentukan oleh penafsiran subyektif AD. Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita – termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. Pada 1959, Penguasa militer melarang peredaran buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun. Setidaknya tiga buku kumpulan puisi juga dilarang beredar. Salah satu buku kumpulan puisi adalah karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanahair tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961). Pamflet Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta juga tidak lolos dari pembrangusan.
. Batasan atas konsep-konsep itu sepenuhnya ditentukan oleh penafsiran subyektif AD. Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita – termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer. Pada 1959, Penguasa militer melarang peredaran buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Hoakiau di Indonesia dan memenjarakan penulisnya selama satu tahun. Setidaknya tiga buku kumpulan puisi juga dilarang beredar. Salah satu buku kumpulan puisi adalah karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanahair tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961). Pamflet Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta juga tidak lolos dari pembrangusan.
Pada 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menghapuskan kontrol efektif terhadap kekuasaannya. Memasuki paruh pertama 1960an, Presiden Soekarno mencanangkan kampanye Ganyang Malaysia (Dwikora) dan Rebut Irian Barat (Trikora) dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional. Kampanye itu meningkatkan sentimen anti-nekolim (neo-kolonialisme dan imperialisme). Soekarno kemudian menerbitkan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 yang memberi kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Seperti pada kasus aturan pelarangan barang cetakan oleh penguasa militer, batasan atas konsep ‘ketertiban umum’ juga diserahkan pada tafsiran subyektif Kejaksaan Agung. Akan tetapi, militer yang masih memiliki pengaruh kuat dalam perpolitikan lokal dan nasional, juga ikut memanfaatkan aturan ini. Buku-buku yang secara sewenang-wenang dianggap memuat gagasan nekolim dilarang.
Di tengah situasi ini, 20 seniman dan budayawan mengeluarkan sebuah pernyataan publik yang kemudian dikenal dengan nama “Manifes Kebudayaan”. Karena pandangan berkesenian mereka dianggap mengganggu konsolidasi bangsa untuk ‘menyelesaikan jalannya revolusi, pada 8 Mei 1964, Presiden Soekarno menyatakan melarang pernyataan tersebut. Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan menanggapi pernyataan Soekarno dengan melarang penggunaan buku-buku karya para pendukung Manifes Kebudayaan sebagai bahan ajar. Sedang berbagai penerbitan, kecuali majalah Basis, tidak berani mempublikasi karya-karya mereka, atau menerima asal nama penulisnya tidak dicantumkan. Para pendukung Manifes Kebudayaan kembali bebas berkarya setelah terjadinya Peristiwa 1965.
Dan semua inipun berlanjut hingga zaman Orde Baru yang mana peristiwa ini merupakan titik balik bagi Indonesia. Dimulai dari peristiwa G30S, yang kemudian berlanjut pada penumpasan dan penghancuran lembaga-lembaga yang dianggap berafiliasi pada PKI serta anggota-anggotanya. Lembaga terpenting yang dibentuk pada periode ini adalah Komando Pemulihan Keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) – tepatnya dibentuk pada 10 Oktober 1965. Lembaga ini memiliki wewenang besar untuk mengambil tindakan apa saja dalam rangka ’memulihkan keamanan dan ketertiban’.Sama seperti pada masa Orde Lama, Kejaksaan Agung sebenarnya hanya menerima pengaduan dari lembaga-lembaga lain dan menerbitkan SK pelarangan berdasarkan pengaduan tersebut. Dari konsideran surat-surat keputusan pelarangan memang terlihat bahwa lembaga-lembaga lain seperti BAKIN, Bakorstanas, Bais, ABRI, Polri, Departemen Agama, secara rutin mengirim pandangannya langsung kepada Jaksa Agung. Dalam prakteknya, memang posisi Jaksa Agung Muda bidang Intelijen (JAM Intel) yang hampir selalu ditempati oleh perwira tinggi militer, dengan mudah berhubungan dengan semua instansi penyelenggara ’ketertiban dan ketentraman umum’ dalam mengumpulkan informasi tentang buku-buku ’rawan’.
Lembaga pemerintah lain selain kejaksaan agung yang melarang buku adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI no. 1381/1965 tentang Larangan Mempergunakan Buku-buku Pelajaran, Perpustakaan dan Kebudayaan yang Dikarang oleh Oknum-oknum dan Anggota-anggota Ormas/Orpol yang Dibekukan Sementara Waktu Kegiatannya, disertai dengan dua buah lampiran. Lampiran pertama berisi 11 daftar buku pelajaran yang dilarang pemakaiannya, antara lain buku-buku karangan Soepardo SH, Pramoedya Ananta Toer, Utuy T. Sontani, Rivai apin, Rukiyah, dan Panitia Penyusun Lagu Sekolah Jawatan Kebudayaan. Sedangkan lampiran kedua berisi 52 buku-buku karangan pengarang-pengarang LEKRA yang harus dibekukan seperti Sobron Aidit, Jubar Ayub, Klara Akustian/ A.S Dharta, Hr. Bandaharo, Hadi, Hadi Sumodanukusumo, Riyono Pratikto, F.L Risakota, Rukiah, Rumambi, Bakri Siregar, Sugiati Siswadi, Sobsi, Utuy Tatang. S, Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, dan Zubir A.A.
Selain Departemen P&K, Menteri Perdagangan dan Koperasi juga mengeluarkan Keputusan Menteri no. 286/ KP/ XII/ 78 yang diturunkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 01/ DAGLU/ KP/ III/ 79 melarang impor, perdagangan dan pengedaran segala jenis barang cetakan dalam huruf/ aksara dan bahasa Cina. Pada masa itu, pemerintah Cina yang berideologi komunisme, dianggap berbahaya dan mengimpor barang cetakannya dapat membuka kesempatan untuk menyebarluaskan ideologi tersebut. Larangan ini membuat pengecualian untuk barang cetakan yang bersifat ilmiah, namun barang-barang tersebut harus memperoleh persetujuan dari Departemen P&K, ijin beredar dari Kejaksaan Agung dan importir pelaksana harus memiliki TAPPI(S) serta ditunjuk oleh Departemen Perdagangan dan Koperasi setelah mendengar pendapat Kejaksaan Agung. Dalam prakteknya, selain menyita buku, pemerintah juga menyita dan memusnahkan kaset dan CD berirama mandarin serta beraksara Cina. Tindakan pelarangan ini selain berkaitan dengan pemutusan hubungan dengan Cina, juga terkait dengan politik diskriminasi warga Tionghoa di dalam negeri.
Kemudian di Era Reformasi, gerakan-gerakan Reformasi berhasil merebut kembali kemerdekaan berkumpul, berserikat, dan berpendapat setelah puluhan tahun diberangus di bawah Rezim Orde Baru. Kemenangan tersebut dikukuhkan oleh MPR melalui Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945. Pada 2004, DPR mencabut kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran barang cetakan melalui UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Akan tetapi, pada 2006 Kejaksaan Agung kembali melarang peredaran buku. Buku yang dilarang pertamakali, pada era ini adalah pamflet yang ditulis Ma’sud Simanungkalit yang berjudul Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al Qur’an. Karena UU Kejaksaan RI yang baru tidak lagi memberi kewenangan pada Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku, maka Kejaksaan Agung bergayut pada UU peninggalan keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin, yaitu No. 4/PNPS/1963, untuk membenarkan keputusannya. Pada 2007 Kejaksaan Agung bertindak semakin agresif dengan melarang 13 buku teks sejarah untuk SLTP dan SLA yang mengacu pada Kurikulum 2004. Kejaksaan Agung berdalih buku-buku tersebut memutar balik sejarah karena tidak mencantumkan kata ’PKI’ dibelakang ‘G-30-S’ dan tidak memasukkan Peristiwa Madiun 1948. Di tingkat lapangan, sejumlah kejaksaan negeri/tinggi memperluas pelarangan tidak hanya pada 13 judul buku, tapi juga pada buku-buku teks sejarah lain. Kejaksaan Tinggi Pangkal Pinang bahkan memperluas pelarangan hingga mencakup 54 judul buku sejarah . Tidak hanya pelarangan yang dilakukan kejaksaan, tetapi juga pemusnahan dengan cara membakar buku-buku teks yang disita. Pada akhir 2009 Kejaksaan Agung melarang lima buku, diantaranya karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (ISSI & Hasta Mitra, 2008) serta karya Rhoma Dwi Yulianti dan Muhiddin M Dahlan, Lekra tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Yogyakarata: Merakesumba, 2008). Buku-buku itu dilarang karena dianggap ‘dapat mengganggu ketertiban umum’. Kejaksaan Agung memonopoili definisi atas ‘ketertiban umum’ dan tidak merasa perlu membuktikan bahwa peredaran buku itu memang meresahkan masyarakat. Padahal buku-buku itu telah beredar selama satu tahun atau lebih tanpa menimbulkan gejolak sama sekali. selanjutnya pada tahun 2010 kemarin kita dapat menemukan adanya pemberangusan/pelarangan buku, seperti "Gurita Cikeas"dan "10 DOSA SBY-JK" yang keduanya di tulis oleh Boni Hargens, staf pengajar FISIP UI telah membuat merah kuping pemerintahan SBY-JK.
Kemudian akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (TAKBIR HMI MPO) mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 tentang pencekalan buku kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Uji Materi kedua UU tersebut diajukan oleh Ketua HMI MPO, M Chozin, tiga aktivis HMI Adhel Setiawan, Eva Irma, Syafrimal Akbar, dan alumni HMI Muhidin M Dahlan, karena merasa kebebasan untuk mengakses informasi dan pengembangan intelektualnya dibatasi. Pemohon lain, yaitu Muhidin M Dahlan yang merupakan alumni HMI ialah penulis buku "Lekra Tak Pernah Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965" yang bukunya dilarang edar oleh Kejaksaan mulai 23 Desember 2009.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, tim hakim yang diketuai Muhammad Alim mengatakan, berkas permohonan uji materi masih harus dilakukan beberapa perbaikan.
Hakim menyarankan agar pemohon bergabung dengan Darmawan, penulis lain yang juga mengajukan permohonan yang sama. Darmawan merupakan salah satu penulis yang bukunya juga dicekal oleh kejaksaan mulai 23 Desember 2009.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan tersebut, tim hakim yang diketuai Muhammad Alim mengatakan, berkas permohonan uji materi masih harus dilakukan beberapa perbaikan.
Hakim menyarankan agar pemohon bergabung dengan Darmawan, penulis lain yang juga mengajukan permohonan yang sama. Darmawan merupakan salah satu penulis yang bukunya juga dicekal oleh kejaksaan mulai 23 Desember 2009.
Mari kita dukung terus pergerakan kawan-kawan kita agar UU Pencekalan Buku segera di hapuskan. Pelarangan buku masih dapat terus terjadi di masa mendatang selama UU No. 4/PNPS/1963 terus dipertahankan.
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar