Senin, 28 Maret 2011

“AIR MATA PDS HB JASSIN”

Berawal dari SK (Surat Keputusan) Gubernur DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011, yang ditandatangani langsung oleh Gubernur Provinsi Jakarta, Fauzi Bowo. Surat Keputusan itu berisi tentang rincian alokasi dana bantuan untuk PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB Jassin, yang mana PDS HB Jassin sebagai pusat sastra terlengkap di Indonesia bahkan di dunia, hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp.50 juta pertahun. Padahal pada tahun 2003 pusat sastra ini pernah mendapatkan anggaran sebesar Rp.500 juta, yang kemudian terus menyusut dan pada tahun lalu jumlahnya Rp.165 juta, yang akhirnya pada tahun ini tambah “parah”, yaitu hanya Rp.50 juta pertahun.
Sang Gubernur pun hanya bisa membela diri dengan mengaku khilaf, dia mengaku tidak memeriksa dahulu mengenai perincian alokasi hibah dan bantuan itu saat menandatanganinya. Ya itulah akibatnya kalau bekerja dengan menutup mata, tak ada gunanya !!
Sepertinya istilah tutup mata atau tidak peduli memang pantas untuk di berikan pada pemerintah DKI Jakarta, karena jika mereka benar-benar memperhatikan pengembangan kebudayaan di wilayahnya, mestinya keteledoran seperti itu tidak terjadi. Pemerintah benar-benar tidak peduli dan tidak mau tahu tentang pelestarian harta yang amat berharga itu, apakah mereka
tidak mengetahui bahwa untuk biaya pengasapan buku saja sudah habis Rp 40 juta sendiri dan pemeliharaan dengan pengasapan idealnya dilakukan dua kali setahun agar buku tidak mudah hancur dan dimakan ngengat? Belum lagi penggajian 14 pegawai yang sudah sebegitu setia berada di tempat itu dengan gaji yang sangat minim. Mereka tetap memiliki kecintaan yang berlebih terhadap tempat itu.

Pengembangan sastra, termasuk pengelolaan pusat sastra, tidaklah menjadi urusan Dinas Kebudayaan. Buktinya, anggaran untuk Pusat Sastra H.B. Jassin diambilkan dari pos hibah dan bantuan. Ini menunjukkan tidak pedulinya Provinsi Jakarta terhadap urusan yang sebetulnya amat penting.
Siapa yang tak terhenyak membaca surat keputusan itu? Apalagi, pendanaan untuk PDS HB Jassin yang biasanya masuk dalam kelompok dana untuk Dewan Kesenian Jakarta, Gedung Kesenian Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, dan Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismai Marzuki ini kini hanya di kelompokan dengan sanggar-sanggar se”bangsa” Teater Tanah Air maupun Sanggar Roda.
Apa jadinya jikalau Doctor Honoris Causa HB Jassin, Paus Sastra Indonesia, yang begitu besar jasanya bagi kesusastraan Indonesia, apabila ia masih hidup, pasti beliau sangat bersedih dengan di turunkannya surat itu. Sebagai seorang pengarang ternama, ia juga amat teliti dan tekun mengumpulkan ribuan dokumentasi sastra sejak tahun 1932.
Berbagai tulisan tangan para pengarang saat mulai menuliskan naskahnya, biografi, maupun coretan koreksian, dan surat-menyurat para penulis karya sastra juga melengkapi karya itu sendiri sebagai barang yang sudah menjadi sebuah buku. Klipingan koran masa lalu dari zaman sebelum Perang Dunia II sampai setelah Indonesia merdeka, plus dokumentasi penting setelah Orde Baru 1966, seluruhnya semula tersebar di Gang Siwalan Nomor 3 dan rumahnya di Gang Kecapi Nomor 8, rumah saudaranya.

Selebihnya ia titipkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jalan Diponegoro 82. Jerih payah HB Jassin tak sia-sia. Dengan akta notaris tertanggal 28 Juni 1976, resmilah Yayasan Dokumentasi HB Jassin yang terletak di kawasan Taman Ismail Marzuki tercipta. Ribuan koleksi naskah itu menjadi milik Pemda DKI Jakarta dan Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin. Siapa lagi kalau bukan Gubernur Ali Sadikin, gubernur saat itu, yang memberikan dorongan penuh untuk tujuan mulia ini.

Selain ribuan buku, naskah drama, potongan surat kabar yang memuat banyak karya sastra para pengarang koleksi HB Jassin, akhirnya berbagai kaum intelektual Indonesia yang lain pun ikut tergugah. Ramai-ramailah mereka menyumbangkan buku untuk menambah koleksi perpustakaan Sastra Indonesia ini. Buku-buku koleksi profesor Dr Damais beberapa rak, koleksi Haji Agus Salim, koleksi Mochtar Lubis yang terdiri dari surat kabar Indonesia Raya yang sudah dijilid dari tahun 1968 sampai 1974, koleksi Wiratmo Soekito dalam bentuk naskah kliping koran dan majalah, koleksi Dr Boen Soemarjati, putri profesor Slamet Imam Santoso, sebanyak enam lemari besi. Tulisan tangan WS Rendra saat membuat konsep puisinya, tulisan tangan Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Sitor Situmorang, maupun naskah novel Ziarah milik Iwan Simatupang, bahkan surat-menyurat antarsesama sastrawan, bahkan karya Sastra Melayu China yang berasal dari tahun 1800-an masih tersimpan rapi di sana menunggu hancur kalau perawatan terabaikan karena masalah biaya.

Makin hari; buku, makalah, dokumen penting sastra Indonesia makin membengkak. Koleksi bertambah terus kian hari, beriringan dengan berbagai peneliti yang mampir dan memanfaatkan gudang ilmu ini untuk skripsi dan disertasi mereka. Peneliti asing dari berbagai universitas di Malaysia, Australia, Jerman, Belanda, Amerika, juga tak terhitung banyaknya. Wartawan-wartawan Indonesia, para seniman andal, dosen, dan mahasiswa paham betul akan "sumber" informasi kesusastraan mereka adanya di PDS HB Jassin.

Pak Jassin pernah bermimpi seperti ini saat ia masih hidup, "Andai di lantai satu gedung perpustakaan Sastra Indonesia ini khusus memang untuk sastra Indonesia dan berbagai daerah lain. Lantai dua untuk sastra Asia. Lantai empat sastra Eropa. Semua terdiri dari sastra modern ataupun sastra lama." Sungguh ideal, indah, dan mulia cita-cita sastrawan hebat Indonesia ini. Benarkah semua terwujud?

Sama sekali tidak, Beliau meninggal 11 tahun silam. Keinginannya belum terealisasi. Sampai kini, bahkan jangkauan untuk menggolongkan bagian-bagian dari sastra itu bertempat di lantai yang berbeda, betul-betul jauh dari impian. Alangkah menyedihkannya gedung PDS HB Jassin. Tangga besi yang curam dan membuat orang harus ekstra hati-hati menata napas dan melangkahkah kaki, ruang baca yang masih bersahaja, ditambah lagi ruang penyimpanan buku, dokumentasi yang muram dan dipenuhi map-map yang tak bersinar lagi. Tempat yang kian sempit dan perawatan yang kurang maksimal tinggal menunggu mahakarya yang ada di sana menjadi reyot pelan-pelan.

Saya tidak sanggup membayangkan betapa "ngilernya" para peneliti, mahasiswa yang haus karya sastra. Bayangkan, sampai saat ini terdapat sekitar 18.000-an buku fiksi, 12.000-an buku non-fiksi, 507 buku referensi, 812 buku naskah drama, 875 biografi pengarang, 16.774 kliping, 517 makalah, skripsi dan disertasi sebanyak 630 judul, 732 kaset rekaman suara, 15 video kaset rekaman, juga 740 foto pengarang. Data ini masih berubah dari hari ke hari dan semakin besar jumlah jenis koleksinya.
Padahal untuk mengakses seluruh karya sastra yang ada di sana, kita tidak akan di pungut biaya sepeserpun. Dengan kata lain,kelanjutan perpustakaan ini sangat bergantung pada Pemprov DKI melalui anggaran tahunan, bahkan sangat ironis sekali, karena akhir-akhir ini untuk menghemat dana, PHD HB Jassin sering mematikan AC-nya, karena jika di nyalakan selama 24 jam, maka biaya pengeluaran semakin membengkak. Dan itulah masalahnya, dengan suhu yang tidak stabil antara dingin dan panasnya kota Jakarta, maka efeknya dokumen-dokumen yang ada disana akan lebih cepat rusak. Untuk membiayai kelanjutan perpustakaan tersebut, pengelola mengajukan laporan alokasi dan penggunaan anggaran yang sudah ada. Sayangnya setiap tahun pengelola selalu mengalami minus.Artinya, hampir setiap tahun anggaran yang ada tidak mencukupi kebutuhan PDS HB Jassin. “Kami mengharapkan dananya tahun ini lebih besar, Rp300 juta saja kurang. Jika lebih kecil ya dokumen yang kami catatkan jadi lebih sedikit. Kekurangan itu yang sulit diatasi. Bila pusat kebudayaan ini tutup karena tidak ada biaya untuk pegawai, lalu siapa yang akan menjalankan,” Dewan Pembina PDS HB Yassin Ajip Rosidi mengatakan.

Negeri ini memang ironis. Di satu sisi menyulap gedung ratusan miliar dilengkapi kolam renang nun jauh di atap atas dan spa yang nyaman terasa mudah sekali. Sementara itu, menyisihkan kocek untuk sebuah penghalusan budi, memelihara mahakarya sastra Indonesia yang luar biasa lengkapnya dalam sebuah gedung yang bersahaja, bagai batu yang beratnya berton-ton rasanya untuk menjalankannya. Saya bayangkan ibu-ibu yang biasa muncul di majalah sosialita dengan tas Hermes warna-warni seharga satunya Rp 180 juta, sementara PDS HB Jassin akan tenggelam kehabisan nyawa karena hanya dilempar oleh Pemda sebesar Rp 50 juta! Saya teringat kembali kata-kata HB Jassin,  "Menyia-nyiakan hasil karya kita berarti menyia-nyiakan kehidupan kita, sejarah kita, masa silam, masa sekarang, dan masa depan kita... Dokumentasi sesungguhnya adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam, dan memperluasnya…."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar