Kamis, 22 September 2011

Suku Dayak Hindu – Budha Bumi Segandu – Indramayu


            

       Bila suatu ketika kita berkunjung ke daerah Indramayu, tidak jauh dari Pantai Eretan Wetan, di sepanjang lajur sebelah kanan jalan by pass dari arah Jakarta ke Cirebon (Jalur Pantura), terdapat  sebuah jalan kecil yang bila ditelusuri menuju ke lokasi pemukiman sebuah komunitas yang menamakan dirinya Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu.
Orang luar sering juga menyebutnya dengan istilah “Dayak Losarang”, atau “Dayak Indramayu”. Komunitas ini tepatnya bermukim di Kampung Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. 
“Suku Dayak Indramayu” hidup di tengah-tengah masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya, untuk tempat tinggal dan tempat peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang  cukup tinggi dan diberi ornamen lukisanlukisan.
Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur), dan melantunkan Kidung dan pujian alam, adalah kegiatan ritual mereka sehari-hari. Kegiatan yang di lakukan secara masal ini hanya di lakukan pada saat malam jumat kliwon. Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya mereka menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. “Bagi yang mampu silakan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukannya, atau lakukan semampunya saja.”
            Mereka memutuskan untuk tidak mengikatkan diri dengan segala peraturan pemerintahan, maupun peraturan agama manapun. Mereka berprinsip bahwa kebaikan dan kebenaran  tidak bisa dipaksakan, melainkan datang dari diri sendiri masing-masing orang. Oleh sebab itu, mereka, tidak mau menjadi umat atau penganut dari salah satu agama besar yang ada di Indonesia. 
Di samping itu, mereka pun tidak mau  mengikatkan diri dengan salah satu kelompok, golongan, maupun Partai Politik. Itu pula sebabnya, ketika negara ini tengah melangsungkan pesta demokrasi Pemilihan Umum, baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, mereka memutuskan untuk tidak memilih salah satu kandidat  maupun partai, dan mereka lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya. Keengganan mereka untuk terikat dengan  aturan-aturan formal, terbukti dari keengganan mereka membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal kepemilikan KTP dan identitas kependudukan atau kewarganegaraan adalah hak sipil bagi semua warga negara yang telah cukup umur. Salah satu penyebab keengganan warga kelopok ini untuk memenuhi hak sipil mereka adalah karena adanya keharusan mengisi kolom agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam format KTP, sementara mereka tidak mengikatkan diri pada  salah satu agama maupun Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 

Dari hasil pengamatan sepintas, penulis  dapat merumuskan beberapa kesimpulan mengenai komunitas suku Dayak Hindu – Budha ini antara lain :

1.   Suku Dayak Hindu – Budha Bumi Segandu Indramayu, adalah sebuah komunitas independen, yang tidak mengikatkan diri  pada salah satu agama, organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha  Esa, maupun partai politik tertentu, maupun organisasi kemasyarakatan.

2.   Warga komunitas ini meyakini ajaran yang diajarkan oleh pimpinan mereka, Takmad Dinigrat, yang disebut dengan ajaran “Sajarah Alam Ngaji Rasa”. Inti ajaran ini adalah mencari kebenaran,  melalui penyatuan diri dengan alam, pemuliaan terhadap lingkungan alam, pengabdian kepada keluarga, berperilaku jujur dan sabar.

3.    Istilah “Suku Dayak” yang mereka kenakan sebagai identitas kelompok ini, bukanlah “suku” dalam etnik (suku bangsa), melainkan sebuah istilah dalam bahasa Jawa Indramayu. Demikian pula kata “Dayak” bukan dalam arti suku bangsa Dayak, melainkan juga diambil dari kata dalam bahasa Jawa Indramayu, yang artinya menyaring/memilih.

4.    Pemimpin kelompok ini telah mengalami banyak kekecewaan hidup yang menimbulkan sikap apatis mereka terhadap  aturan-aturan formal pemerintah, maupun hak-hak sipil mereka. Sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya. Dalam pengamatan penulis, kelompok ini cenderung lebih mengarah pada suatu kelompok aliran kepercayaan, ketimbang kelompok suku bangsa sebagaimana mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai suku Dayak Hindu – Budha. Kesatuan dan kebersamaan mereka lebih didasari oleh adanya keyakinan bersama akan kebenaran ajaran yang diberikan oleh pemimpin mereka kepada warganya. Implikasi dari sering adanya bantuan dari luar yang diterima oleh kelompok ini, baik dari perorangan maupun kelembagaan, telah menimbulkan kekhawatiran pada pihak Pemerintah Daerah setempat, antara lain : 

·         Dikhawatirkan oleh Pemerintah Daerah Setempat akan menimbulkan kecemburuan sosial dari warga masyarakat di sekitarnya.
·         Semakin banyak warga masyarakat di sekitarnya yang tertarik dengan ajaran-ajaran mereka, terlebih dengan banyaknya bantuan dari pihak luar, sehingga menarik warga masyarakat disekitarnya untuk bergabung dengan komunitas ini. Padahal komunitas ini belum mendapat pengakuan dari Pemerintah Daerah Setempat.


Tetapi bagai manapun juga, kita sebagai warga Indonesia patut bersyukur atas segala kekayaan dan Keragaman budaya yang ada di negeri kita, itu semua merupakan suatu anugrah yang tidak semua bangsa dapat memilikinya. “Alam ini kita..” penggalan bait lagu dari hymne Arga Wilis ini harus selalu membuat kita sadar, akan diri kita ini yang sesungguhnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar