Asrul Sani, lahir di Rao, Sumbar, 10 Juni 1927 adalah seorang sastrawan, seniman, budayawan, sekaligus seorang sutradara teater dan film. Selain itu, ia juga adalah pendiri Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), yang sekarang IKJ. Beliau menyelesaikan studi
di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia (sekarang IPB) pada tahun 1955, Dramaturgi dan sinematografi di University of Southern California Amerika Serikat tahun 1955-1957, Sekolah Seni Drama di Negeri Belanda tahun 1951-1952, SLTP hingga SLTA di Jakarta, SD di Rao, Sumatera Barat.
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982). Pada tahun 1950-an Asrul bersama Usmar Ismail mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), yang telah banyak mencetak seniman2 besar seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Soekarno M Noor, Ismed M, Noor, Tatiek Maliyati, dll.
Kalau kita perhatikan, langkah-langkah Asrul baik dalam bidang sastra, teater maupun film, semuanya bersifat strategis. Dia selalu meletakkan dasar pemikirannya untuk langkah-langkah selanjutnya. Dialah yang menyusun surat kepercayaan gelanggang yang kemudian dianggap sebagai konsep dasar Angkatan '45 dalam kesenian. Dia juga menulis surat Kepercayaan Gelanggang yang lain yang menjadi konsep dasar Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia) yang dia dirikan bersama H. Usmar Ismail di lingkungan NU. Dia juga menjadi salah seorang seniman yang ikut meletakkan konsep dasar Pusat Kesenian Jakarta yang meliputi Akademi Jakarta (AJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia anggota AJ, pernah menjadi salah seorang Ketua DKJ dan pernah pula menjadi Rektor IKJ.
Untuk karya-karyanya, tidak dapat di ragukan lagi, bahwa Asrul Sani adalah seorah Sastrawan Handal, dan juga seorang guru besar, beliau banyak menciptakan karya-karya besar seperti: Tiga menguak takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997). Dan juga pada bidang film yang memang sudah ia geluti sampai akhir hayatnya, seperti Karya Cerita /Skenario : Balada Kota Besar (1963), Malin Kundang Anak Durhaka (1972), Raja Jin Penjaga Pintu Kereta (1974), Tiga Sekawan (1975), Al Kautsar (1977), Dr. Siti Pertiwi Kembali Ke Desa (1979), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Gema Kampus ’66 (1988), Istana Kecantikan (1988), Omong Besar (1988), Pelangi Di Nusa Laut (1992). Karya Penyutradaraan : Pagar Kawat Berduri (1961), Tauhid (1964), Desa Dikaki Bukit (1972), Salah Asuhan (1972), Jembatan Merah (1973), Bulan Diatas Kuburan (1973), Kemelut Hidup (1977), Para Perintis Kemerdekaan (1977).
"Kejarlah Daku Kau Kutangkap" |
Asrul juga dikenal sebagai penerjemah karya-karya Dunia, seperti : Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960), Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986), Musuh Masyarakat (drama Henrik Ibsen), dan Orang-orang Biadab (drama Christopher Hampton).
Sesungguhnya bukan hanya bersastra, pada tahun 1945-an itu Asrul Sani yang pernah duduk sebangku dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer sewaktu sekolah di SLTP Taman Siswa Jakarta, bersama kawan-kawan telah menyatukan visi perjuangan revolusi kemerdekaan ke dalam bentuk Lasjkar Rakjat Djakarta. Masih di masa revolusi itu, di Bogor dia memimpin Tentara Pelajar, menerbitkan suratkabar “Suara Bogor”, redaktur majalah kebudayaan “Gema Suasana”, anggota redaksi “Gelanggang”, ruang kebudayaan majalah “Siasat”, dan menjadi wartawan pada majalah “Zenith”.
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan".
Hingga tiba pada bulan Oktober 1950 saat usianya masih 23 tahun, Asrul Sani sudah mengkonsep sekaligus mengumumkan pemikiran kebudayaannya yang sangat monumental berupa “Surat Kepercayaan Gelanggang”, yang isinya adalah sebentuk sikap kritisnya terhadap kebudayaan Indonesia. Isinya, antara lain berbunyi, "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat kecil bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana-mana dunia-dunia baru yang sehat dan dapat dilahirkan".
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum mengkatupkan mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.
Meski sudah mulai mengalami kemunduran kesehatan dalam jangka waktu lama, Asrul Sani masih saja menyempatkan menulis sebuah pidato kebudayaan, yang, konon akan dia sampaikan saat menerima gelar doktor kehormatan honoris causa (HC) dari Universitas Indonesia, Jakarta. Nurani bangsa itu telah pergi. Tapi biarlah nurani-nurani aru lain mekar tumbuh berkembang seturut zamannya .
Tweet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar