Pertunjukan "Pertja" karya Benjon |
ekonomis dan politis. Makin lam mereka menjadi semakin kuat dan akhirnya tumbuh pula harga dirinya sebagai kelas. Di dalam dunia teater, pada suatu saat kelas borjuasi tidak lagi ingin menonton lakon-lakon raja-raja, pangeran-pangeran dan putri-putri, mereka ingin melihat diri mereka dari dunia mereka sendiri. Tidaklah sia-sia, kalau George Lillo pada tahun 1731 menulis lakon tentang magang, pelacur dan saudagar dalam naskah yang berjudul saudagar london, atau Tragedi George Barnwell. Jelas, di dalam naskah ini gambaran tentang satria-satria dan putri-putri serta pahlawan-pahlawan dengan zirah mengkilap dengan senjata gemerincing tidak hadir.
Kebangkitan kelas borjuasi hanyalah salah satu daya yang mendukung kebangkitan teater realisme. Daya lain adalah ilmu pengetahuan. Baik teori evolusi Darwin, teori psikologi sebelum freud maupun masalah sosial yang menantang pendekatan ilmiah pada masa-masa itu, mendorng tumbuhnya suatu sikap dan cara memandang kehidupan secara khas. Sikap dan pandangan ini secara tak langsung menyatakan bahwa kehidupan dan dunia dapat di pahami melalui pengamatan dan penggambaran objektif. Peri-peri dan tukang tenung berada di luar dunia objektif sedang para pangeran dan putri sudah tersisih dari kehidupan. Maka, mereka pun tersisih dari pentas.
Kebangkitan kelas borjuasi tidak pula dapat dilepaskan dan kebangkitan individualisme. Tokoh-tokoh pemikir yang mewakili kelas borjuis seperti Hobbes, Montesquieu, dan Rosseau, langsung atau tidak langsung mengungkapka pandangan tentang supremasi individu dalam masyarakat dan menekankan pentingnya pengaturan hubungan (politis) individu dengan masyarakat dan negara. Pandangan ini bukan saja tidak dikenal dalam masyarakat komunal feodal, akan tetapi justru menentang dan membebaskan diri dari pandangan komunal feodal tentang individu itu. Mudah di pahami mengapa di dalam pentas realisme individu demikian menonjol, justru individu sebagai protagonis yang dengan tindakannya menimbulkan konflik dengan lingkungannya, dengan masyarakatnya, yang menimbulkan "drama". Tidaklah terlalu meleset kalau dikatakan bahwa realisme adalah teater tokoh , teater individu. realisme berbicara tentang Nyonya Alving, Nona Julie, Nyonya Lyubov, Dr. Stockmann, Joe Keller, Willy Loman dan sebagainya, yaitu individu-individu yang hadir di pentas mewakili dirinya sendiri.Mereka hadir dalam keamungan (keunikan) di dalam pikiran, perasaan, temperamen dan pandangan hidup.
"Ghost" salah satu drama realis karya Hendrik Ibsen |
Begitu pentingnya protagonis individu ini, hingga dalam realisme ia mengambil setengah dari pentassebagai ajang konflik. Ia adalah tokoh yang bertentangan dengan setengah pihak lainnya, baik lingkungan sosial spiritual atau alam. Ia berusaha mengalahkan dan menundukkan bagian yang lain dan atas untuk kepentingan dirinya. Kalau ia tidak dapat menundukkan lawannya dan menyadari keterbatasan serta kelemahannya dengan tabah dan agung, terjadilah tragedi. Kalau ia dapat menundukkan lawannya atau ia dapat menerima keterbatasan keterbatasan serta kelemahnnya dengan tertawa, terciptalah komedi. apapun yang terjadi, protagonnis individu ini adlah pihak yang menentukan.
Ciri lain yang menonjol dari teater realisme adalah sifatnya yang sangat sastrawi (literer). Bahasa sangat berkuasa hingga teater itu sangat verbal. Kehadiran sifat ini tidak sukar di terangkan kalau di ingat, bahwa bahasa adalah alat yang palling cocok untuk kegiatan yang bersifat intelektualdan analitik, jenis kegiatan yang menonjolpada masyarakat eropa. Kecendrunngan intelektual atau cerebral ini terutama diwakili oleh tokoh realisme di Inggris, yaitu Shaw, yang akhirnya menulis dialog sebagi diskusi debat.
Pilihan gambaran objektif tentang dunia, kecendrungan menempatkan kedudukan individu pada tempat yang dominan serta kecendrungan memandang hakekat drama sebagai konflik telah menggerakkan suatu proses konvensionalisasi pada cara menulis naskah. proses konvensionalisasi ini mencapai kemantapannya pada pertengahan akhir abad XIX, melalui tokoh-tokoh seperti Ibsen, Chekov dan Stanislavsky (Fergusson,1956).
Kiranya jelas, di balik konvensi realisme terdapat suatu pandangan dunia yang khas, yaitu pandangan dunia yang memungkinakan lahirnya konvensi itu. Pandangan dunia ini di namakan faustianisme, yaitu suatu pandangan dunia yang memandang dunia dan alam sebagai suatu sasaran untuk di pahami dan di tundukkan lalu dimanfaatkan (dieksploitasi). Pandangan dunia ini adalah benar-benar khas pandangan barat.
Dikutip dari tulisan Saini K.M.
TEATER MODERN INDONESIA dan BEBERAPA MASALAHNYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar